Hukum Bisnis dan Hukum Perdata Hukum Bisnis dan Hukum Perdata

Belajar Hukum Perdata (Hukum Bisnis): Pengertian, Fungsi, Sumber dan Perbedaan

Belajar Hukum Perdata (Hukum Bisnis) – Sebelum membahas hukum perdata, ada baiknya kita mengerti dulu apa itu hukum bisnis karena hukum perdata ini merupakan bagian dari hukum bisnis. Ok, here we go

1. Pengertian dan Sumber Hukum Bisnis

Hukum bisnis merupakan suatu perangkat hukum yang mengatur tatacara dan pelaksanaan suatu urusan atau kegiatan perdagangan, industri, ataupun keuangan yang berhubungan dengan pertukaran barang dan jasa, kegiatan produksi maupun kegiatan menempatkan uang yang dilakukan oleh para entrepeneur dengan usaha dan motif tertentu dimana sudah mempertimbangkan segala resiko yang mungkin terjadi.

Sumber Hukum Bisnis

Sumber hukum bisnis merupakan dasar dibentuknya hukum bisnis. Sumber hukum bisnis meliputi:

  1. Asas kotrak perjanjian antara pihak-pihak yang terlibat dimana masing-masing pihak tunduk terhadap aturan yang telah disepakatinya.
  2. Asas kebebasan kontrak dimana pelaku bisnis dapat membuat dan menentukan isi perjanjian yang mereka sepakati.

Secara umum sumber hukum bisnis menurut perundangan-undangan, meliputi:

  1. Hukum Perdata (KUH Perdata)
  2. Hukum Publik (pidana Ekonomi/KUH Pidana)
  3. Hukum Dagang (KUH Dagang)
  4. Peraturan Perundang-undangan di luar KUH Perdata, KUH Pidana, maupun KUH Dagang

Fungsi Hukum Bisnis

  1.  Menjadi sumber informasi yang bermanfaat bagi pelaku bisnis,
  2.  Memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya di dalam praktik bisnis,
  3. Mewujudkan aktivitas bisnis dengan disertai watak dan perilaku pelakunya sehingga tercipta kegiatan bisnis yang sehat, dinamis dan berkeadilan karena dijamin oleh kepastian hukum.

2. Hukum Perdata

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur antar perorangan mengenai hak dan kewajiban yang menitipberatkan pada kepentingan perorangan dimana penyelesaian perkara diberikan kebebasan kepada masing-masing pihak.

Sanksi hukum  : bersifat ganti rugi dan / pemenuhan hak adat.
Subjek hukum : orang dan badan hukum
Objek hukum   : Segala sesuatu yang bermanfaat bagi objek hukum.
Sumber hukum :

  1. Perundang-undangan : tertulis
  2. Kebiasaan : adat / tidak tertulis
  3. Traktat : perjanjian antar negara
  4. Yurisprudensi : putusan hakim terdahulu
  5. Doktrin :  pendapat para ahli / pakar dibidangnya, dibutuhkan pada saat persidangan.
Baca Juga :   Penggunaan Ejaan dalam Bahasa Indonesia

Sumber hukum perdata : Burgerlijk Wetboek (BW) atau disebut sebagai KUH (Kitab Undang-undang Hukum) perdata, kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan doktrin mengenai kasus perdata.

Sistematika Hukum Perdata

A. Menurut Ilmu Pengetahuan
Buku I   : Hukum Perorangan (Personenrecht)
Buku II  : Hukum Keluarga (Familierecht)
Buku III : Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
Buku IV : Hukum Waris (Erfrecht)

B. Menurut KUHPerdata
Buku I   : Perihal Orang (Van Personen)
Buku II  : Perihal Benda (Van Zaken)
Buku III : Perihal Perikatan (Van Verbintennisen)
Buku IV : Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa (Van Bewijs en Verjaring)

3. Perjanjian Dalam Hukum Perdata

Istilah perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Unsur perjanjian

  1. Ada para pihak
  2. Ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut
  3. Ada tujuan yang akan dicapai
  4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan
  5. Ada bentuk tertentu, baik lisan maupun tulisan
  6. Ada syarat-syarat tertentu.

Macam-macam perjanjian

1. Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban

Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).

Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

2. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.

Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.

3. Perjanjian konsensuil, formil dan, riil

Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.

Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.

Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.

4. Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran

Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.

Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.

Asas-Asas Perjanjian

1. Asas kebebasan berkontrak

Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum.

Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Baca Juga :   Risiko Bisnis adalah: Pengertian dan Jenis-enis Risiko dalam Bisnis

Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).

2. Asas Konsesualisme

Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat.

Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu.

Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus tertulis.

Contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.

3. Asas Perjanjian Mengikat

Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya hanya mengikat ke dalam.

Pasal 1340 KUHPdt berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPdt yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan.

4. Asas Itikad Baik

Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya.

Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.

Syarat-Syarat Perjanjian

1. Kesepakatan

Maksudnya ialah para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.

Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur : paksaan, penipuan, dan kesilapan / kekeliruan.

Sebagaimana pada pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

2. Kecakapan

Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap.

Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:

  1. Orang-orang yang belum dewasa
  2. Mereka yang berada dibawah pengampuan
  3. Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Baca Juga :   Life Table (Tabel Kematian) | Pengertian, Contoh, dan Pembahasan

3. Adanya Objek Tertentu

Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum.

Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.

Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung

4. Kausal yang Diperbolehkan / Halal / Legal

Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai hukum yang berlaku.

Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

Wanprestasi dan Penyelesaiannya

Dalam suatu perjanjian, adakalanya salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian tersebut.

Dalam hukum, perbuatan semacam ini biasa disebut sebagai kelalaian (wanprestasi).

Pengertian kelalaian atau wanprestasi ada beberapa macam, yang meliputi:

  1. Tidak melaksanakan isi perjanjian sebagaimana disanggupinya
  2. Melaksanakan isi perjanjian namun tidak sebagaimana dijanjikan
  3. Melaksanakan isi perjanjian namun terlambat
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Perlu diingat bahwa perjanjian memiliki kekuatan mengikat (Pasal 1339 KUH Perdata) sehingga pihak yang dirugikan oleh adanya wanprestasi ini dapat melayangkan tuntutan atas kelalaian yang terjadi.

4. Perbedaan Hukum Perdata dengan Hukum Pidana

Pada prinsipnya, terdapat tiga hal yang membedakan hukum perdata dengan hukum pidana. Ketiga perbedaan tersebut adalah isinya, pelaksanaannya, dan cara menafsirkannya.

1. Dari segi isinya

Hukum perdata mengatur mengenai hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

Sedangkan hukum pidana mengatur mengenai hubungan hukum antara seorang anggota masyarakat (warganegara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat.

2. Dari segi pelaksanaannya

Maka pada hukum perdata pelanggaran terhadap norma hukum perdata baru diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan dari pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang merasa dirugikan. Pihak yang mengadu tersebut menjadi penggugat dalam perkara itu.

Sedangkan pada hukum pidana, pelanggaran terhadap norma hukum pidana segera diambil tindakan oleh pengadilan tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Segera setelah terjadi pelanggaran pidana, maka alat perlengkapan negara (polisi, jaksa dan hakim) segera bertindak.

Pihak yang dirugikan menjadi saksi, sedangkan yang menjadi penggugat adalah penuntut umum (jaksa). Namun dalam beberapa tindak pidana diperlukan pengaduan dari pihak yang dirugikan.

Aparat penegak hukum tidak akan bertindak tanpa pengaduan dari pihak yang dirugikan. Misalnya dalam hal perzinahan, pemerkosaan dan pencurian dalam keluarga.

3. Dari segi cara menafsirkannya

Pada hukum perdata diperbolehkan untuk mengadakan berbagai macam interpretasi terhadap undang-undang hukum perdata.

Sedangkan pada hukum pidana hanya boleh ditafsirkan menurut arti kata dalam undang-undang tersebut. Singkatnya, hukum pidana hanya mengenal penafsiran authentik.

Sumber dan baca juga:
Perbedaan Hukum Perdata dan Pidana
Perjanjian Dalam Hukum Perdata
Asas Asas Perjanjian
Syarat Syarat Perjanjian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *